=Bismillaahir-rahmaanir-rahiim=
>
>Sahabat,
>
>Ketika salah seorang sahabat bernama Ukaf bin Wida’ah al-Hilali menemui
>Rasulullah saw dan mengatakan bahwa ia belum menikah, beliau bertanya,
>“Apakah engkau sehat dan mampu?” Ukaf menjawab, “Ya, alhamdulillah.”
>Rasulullah saw bersabda, “Kalau begitu, engkau termasuk teman setan. Atau
>engkau mungkin termasuk pendeta Nasrani dan engkau bagian dari mereka. Atau
>(bila) engkau termasuk bagian dari kami, maka lakukanlah seperti yang kami
>lakukan, dan termasuk sunnah kami adalah menikah. Orang yang paling buruk
>diantara kamu adalah mereka yang membujang. Orang mati yang paling hina di
>antara kamu adalah orang yang membujang.” Kemudian Rasulullah saw
>menikahkannya dengan Kultsum al-Khumairi. (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Majah)
>
>Anas bin Malik ra berkata, telah bersabda Rasulullah saw, "Barangsiapa
>menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia
>bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi." (Hadist
>Riwayat Thabrani dan Hakim)
>
>Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri2 Nabi
>saw tentang peribadatan beliau. Setelah mendapat penjelasan, masing-masing
>ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata, "Adapun saya,
>akan puasa sepanjang masa tanpa putus." Yang lain berkata, "Adapun saya
>akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya." Ketika hal itu
>didengar oleh Nabi saw, beliau keluar seraya bersabda, "Benarkah kalian
>telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang
>paling takut dan taqwa diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku
>berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan.
>Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
>golonganku." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
>
>Ibnu Mas'ud ra pernah berkata, "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi,
>sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah swt sebagai
>seorang bujangan." (Ihya Ulumuddin hal. 20)
>
>Dalam suatu kesempatan Imam Malik pernah berkata, “Sekiranya saya akan mati
>beberapa saat lagi, sedangkan istri saya sudah meninggal, saya akan segera
>menikah.” Demikian rasa takut pengarang kitab al-Muwatha’ ini kepada Allah
>kalau ia meninggal dalam keadaan membujang. (30 Pertunjuk Pernikahan dalam
>Islam, Drs. M. Thalib)
>
>Lalu kenapa kita masih menahan diri untuk menikah? Pengalaman mengajarkan
>bahwa ternyata kita dapat menjadi semacam tempat penyalur rejeki (dari
>Allah) bagi orang2 yang lemah diantara kita (istri dan anak2, bahkan
>orangtua dan mertua sekaligus). Itu dapat terjadi manakala kita telah buat
>keputusan untuk mengambil tanggung jawab atas mereka. Se-akan2 Allah
>mengatakan bahwa Dia akan membantu kita untuk mewujudkan setiap niat baik
>dan tangung jawab kita.
>
>Allah swt menyukai orang2 yang dapat 'mewakili'-Nya dalam hal pembagian
>rejeki. Salah satu kesukaan-Nya adalah bahwa Dia akan berikan lebih banyak
>lagi rejeki kepada wakil2-Nya agar hal itu dapat bermanfaat bagi hamba2-Nya
>yang ada dibawah tanggung-jawab mereka. Dan Allah (yang menyenangi orang2
>yang berbuat baik) menyukai mereka yang mengambil tanggung-jawab atas
>urusan2 yang disukai-Nya.
>
>Percayalah bahwa ketika kita buat keputusan untuk menikah, itu berarti
>bahwa kita sedang menyenangkan Allah. Pada saat yang sama, kita menjadikan
>setan stress dan ‘uring2-an’. Pada gilirannya nanti, Allah akan
>memperlihatkan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk bergantung dan
>mendapatkan rejekinya. Sementara itu, setan bekerja lebih keras lagi untuk
>menanamkan rasa takut terhadap segala resiko (yang mungkin timbul) dari
>pernikahan, sekaligus dia menampakkan ‘kebaikan2’ hidup sendiri
>(membujang).
>
>Bila kita menikah, padahal saat ini kita (misalnya) seperti ‘tulang
>punggung’ bagi keluarga orangtua, maka Allah yang maha pengasih dan maha
>penyayang tidak akan menambah berat beban yang harus kita pikul, bahkan Dia
>akan meringankannya melalui pernikahan. Nampaknya hal ini tidak bisa masuk
>akal, akan tetapi demikianlah ketetapan Allah dalam memelihara ciptaan-Nya.
>Akal kita memang sangat terbatas, bahkan sekedar untuk memahami ciptaan-Nya
>saja hampir2 kita tidak mampu.
>
>Bila kita menikah, sedangkan kita tidak sedikitpun punya niatan untuk
>meninggalkan bakti kepada orangtua dan hubungan baik dengan sanak-saudara,
>niscaya Allah akan memberi jalan keluar bagi masalah2 yang mungkin timbul
>terhadap mereka. Segala sesuatu datang dari Allah dan semuanya akan kembali
>kepada-Nya. Keadaan seberat apapun, pasti tidak akan menyusahkan-Nya
>sedikitpun dalam menyelesaikan masalah2 keseharian kita.
>
>Bila kita menikah, maka kita akan (segera) masuk ke dalam orang2 yang
>beruntung yang akan diakui sebagai ummat Rasulullah saw. Begitu besarnya
>perhatian Rasulullah saw akan hal nikah sehingga seseorang seperti Julabib,
>(maaf) yang punya wajah jelek, hitam, miskin dan tidak punya keberanian
>untuk nikah (karena keadaannya) pun 'digesa' dan didorong untuk menikah.
>Seakan Rasulullah marah kepada mereka yang sudah masuk dalam kategori layak
>nikah namun dia mengabaikannya.
>
>Untuk itu, hendaknya tidak seorangpun merasa kecil hati dengan keadaannya
>saat ini. Banyak keadaan dimana orang2 memandang bahwa keadaan kita jauh
>lebih baik daripada mereka. Barangkali orang2 di luar kita tidak sepenuhnya
>memahami keadaan kita, akan tetapi pada kenyataannya memang selalu ada
>orang2 yang posisinya jauh dibawah kita dan selalu ada orang2 yang
>keadaannya lebih buruk daripada kita.
>
>Lalu dari mana kita mulai? Orang2 tua yang arif-bijaksana selalu
>mengingatkan agar kita selalu memperbaharui niat kita, menguatkannya hingga
>kita berazam untuk mewujudkan sesuatu yang kita hajatkan. Dengan ijin
>Allah, niat yang kuat (azam) akan dapat mengaktifkan fikir, menggerakkan
>anggota2 badan dan melibatkan segala sesuatu di sekitar kita untuk
>merealisasikan apa yang kita niatkan. Untuk perkara2 yang tidak baik saja
>Allah memberinya ijin, lalu bagaimana pula bila niat itu sesuatu yang Allah
>sukai?
>
>Langkah selanjutnya adalah doa. Dengan menguatkan niat, doa kita akan
>terasa lebih berkesan. Ada masa2 tertentu setiap hari ketika Allah merespon
>doa secara 'cash' (tunai). Tidak seorangpun tahu rahasia ini, sehingga
>orang yang ber-sungguh2 (dengan urusan doa yang diijabah ini) tidak akan
>me-nyia2-kan masanya, sehingga tidak ada masa kecuali selalu dalam
>berhubungan dengan Sang pengijabah doa.
>
>Langkah berikutnya, yakni seiring dengan doa yang sedang kita panjatkan,
>adalah ikhtiar. Kita boleh menyukai siapa saja, yang agama kita
>membenarkannya untuk kita menikahinya. Akan tetapi ketetapan pasangan kita
>adalah hak Allah. Kita boleh memilih dan memilah, tapi yakin kita adalah
>bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik buat kita. Allah mengetahui
>sedangkan kita tidak tahu kecuali sebatas pada apa yang diberitahukan-Nya
>kepada kita.
>
>Bila kita menyukai seseorang untuk menjadi pasangan (suami atau istri) kita
>lalu hal itu sesuai dengan keinginan dan ilmu kita, akan tetapi Allah
>(dengan keluasan ilmu-Nya) tidak menghendakinya terjadi, maka pernikahan
>itu tidak akan dapat diwujudkan meski seluruh jin dan manusia membantu
>kita. Bila kita menyukai seseorang dan Dia sendiri telah menetapkannya
>untuk kita, maka pernikahan akan terwujud meskipun seluruh jin dan manusia
>menghalanginya.
>
>Bila kita tidak suka kepada seseorang sedangkan Allah suka agar kita
>menyenangi dan menikahinya, ini adalah suatu pertanda bahwa Allah menyimpan
>banyak kebaikan yang (sebagian besarnya) dirahasiakan-Nya agar menjadi
>‘surprise’ bagi kita pada saat yang ditentukan-Nya sendiri kelak, baik di
>dunia ataupun di akhirat. Dan kesukaan Allah yang lain adalah bahwa Dia
>mecurahkan kebaikan yang semakin ber-tambah2 dan ber-lipat2 kepada hamba2
>yang diridhoi-Nya.
>
>Dari banyak pengalaman, saat2 menjelang pernikahan (setelah kita buat
>keputusan untuk itu) adalah masa2 yang sering dipenuhi dengan kecamuk
>‘perang bathin’. Se-olah2 ini adalah perang antara kebaikan dan keburukan.
>Bila kita terus maju dengan segala resikonya, kita akan menang lalu
>sampailah kita ke gerbang pernikahan. Sebaliknya, bila kita ragu2 dan
>menjadi terhalang dengan ‘hal2 kecil’, kita akan kalah dan kita tidak akan
>sampai ke gerbang itu. Maka bila kita sudah buat keputusan, kita mesti
>buang jauh2 segala bentuk ke-ragu2-an dan kita mesti belajar untuk menjadi
>tidak peduli dengan segala rintangan. Subhanallah.
>
>Subhan ibn Abdullah
>Pattaya, 29/09/03
>