Hakikat Cinta Dan Benci
Oleh Yusuf Burhanudin*
-----------------------------------------------------------------------------
Cinta (al-mahabbah) dan benci (al-karâhah), merupakan fitrah emosional yang
dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang Muslim, cinta dan
benci itu harus berdasarkan proporsionalisasi syarî’at. Karena, bisa jadi, apa
yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu
yang sebetulnya baik buat kita (Qs.2:216). Jika tidak demikian, betapa banyak
orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan
benci ini.
Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan
ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu"
(Qs.3:31-32).
Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai
dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak
pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika
kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada
mereka (Qs.5:
.
Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim. Tetapi
justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW. bersabda, "Hakikat
seorang Muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta
tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri" (hari.
Imâm Bukhâî).
Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari
itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum
terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang
tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat
sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan (al-Hadits).
Ekspresi sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasad adalah
iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa
mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang
dianggap lawannya itu. Dari sini hasud berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana
merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar
sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu.
Benci yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW, sabdanya, "Jauhilah
oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu
layaknya api menghanguskan kayu bakar" (hari. Abû Dâwûd).
Wajah seorang muhâsid (pelaku hasud) tak lain seorang provokator yang senang
mengadu-domba antarsesama, menabur fitnah, serta wujud dari kerja sama dalam
menebar dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwâdan). Mereka diancam Nabi SAW.
tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang
antarsesama manusia (hari. Bukhâî-Muslim).
Dalam konteks Islam, shilat-u ar-rahmi (shilah, menghubungkan; dan rahmi,
berasal dari rahim yang sama) merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan
keharmonisan hidup antarinsan. Inilah inti rahmat-an lil-‘âlamîdan; mencintai dan
membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, sebaliknya, jika sesuai
seleranya sendiri, terancam kepedihan azab-Nya. Dalam arti, tidak turunnya
rahmat dan bertaburnya benih-benih perpecahan dan perselisihan (Bulûghu
‘l-Marâm, 2000; 496).*
Agar kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah
mengajarkan, "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah
makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah
Tahajjud pada sepertiga malam (introspeksi), niscaya kamu akan masuk surga
dengan damai" (hari. Imâm Tirmidzî).
Demikian sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan
kepada siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila, orang lain selamat dari
ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya (Fath-u al-Bâî I; 76-86). Wallâhu
a’lam.
________________________________
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syarî’ah wa al-Qâdanûdan (Islamic Law and
Juriprudence Faculty), al-Azhar University, Cairo-Egypt.
** Dari Anas ra. Allah berfirman, Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang
menahan amarahnya, maka Allah akan menahan azab-Nya" (hari. Thabrâdanî, Bulûghu
‘l-Marâm, Ibnu Hajar al-‘Asqalâdanî, Dâ-u Ibn-u Hazm: 2000, hal. 496).