|
Saiyidatina Fatimah Yang Berduka
|
|
 |
Posted on Sabtu, 09 Ogos 2003 @ 21:28:58oleh Hanan
|
|
|
suatumasa menulis Sungguh, Allah Taala dengan iradah azaliyahNya telah menghadirkan seorang wanita, yang langit dan bumi belum pernah dan tidak akan pernah menyaksikan, sebelum dan sesudahnya, wanita seperti dia. Dia dilahirkan dari dua manusia suci. Yang satu Muhammad bin Abdullah, ayahandanya yang sangat menyayanginya, yang sekaligus merupakan seorang nabi yang paling mulia di antara nabi yang diutus, dan makhluk Tuhan yang paling dicintaiNya. Yang satunya lagi adalah bonda tercintanya, Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita yang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebenaran.
Tidak hairan kalau sang bayi mungil, yang terlahir dari dua orang suci tersebut, mewarisi segala kemuliaan dan kebesaran kedua orang tuanya, dan kelak bumi dan langit serta segala isinya akan menjadi saksi tentang ketegaran dan keagungan bayi tersebut.
Kehadirannya di tengah-tengah bangsa yang biadab, keras kepala dan yang sanggup mengubur wanita hidup-hidup, menjadikannya lebih cemerlang dan bersinar. Semua itu terjadi bukan secara kebetulan dan tanpa perhitungan, akan tetapi akibat dari sebuah perencanaan Tuhan yang amat cermat dan tepat.
Dia lahir lima tahun setelah ayahanda tercintanya diberi tugas yang amat berat dan sangat suci, iaitu untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari kehancuran menuju kedamaian. Sang bayi, sebagaimana bayi-bayi lainnya, mendapatkan belaian kasih sayang dari kedua tangan ibundanya dan curahan kecintaan dari kedua mata ayahandanya.
Dia mulai menyedari bahawa kehadirannya benar-benar merupakan anugerah Tuhan untuk kedua orang tuanya. Hari demi hari silih berganti, dilewatkannya dengan penuh keindahan dan kesenangan. Namun, kesenangan dan keceriaan si kecil tadi hanyalah merupakan satu episode khusus dari serangkaian episode skenario Tuhan yang penuh keharuan, kesedihan, deraian air mata, dan tekanan batin. Seakan-akan Sang Sutradara Agung Yang Mahabijak hendak menampilkannya sebagai sosok yang menjadi tumbal keserakahan umat manusia.
Di saat Saiyidatina Fatimah kecil beranjak usia lima tahun, ibunda tercintanya pergi untuk selamanya. Dan segera setelahnya, paman ayahanda beliau yang kharismatik, Abu Thalib, juga menyusul ke alam baka. Belaian kasih sayang kedua tangan ibundanya tidak akan pernah dialaminya lagi.
Sejak kepergian Abu Thalib dan Khadijah, Saiyidatina Fatimah kecil harus bersiap-siap menghadapi kegetiran dan kepahitan hidup. Serigala-serigala padang pasir yang lapar dan sadis, sudah mulai meneteskan air liurnya dan meraung-raung, yang menandakan pesta jahiliah segera dimulai.
Mereka tidak sabar lagi untuk merobek-robek relung hati si kecil yang suci, Saiyidatina Fatimah, yang baru saja kehilangan ibundanya. Maka babak baru kehidupan Saiyidatina Fatimah kecil yang sangat berbeza dengan sebelumnya, segera dimulai.
Ketegaran yang diwarisi Saiyidatina Fatimah kecil dari ibunda dan ayahandanya, tidak menjadikannya sebagai seorang anak kecil yang mudah merengek. Dia tampil seakan-akan seorang wanita dewasa yang matang dan penuh pengertian.
Jika dia menangis, hal itu bukan karena dan untuk dirinya sendiri, tetapi disebabkan dan untuk ayahandanya dan para sahabatnya yang senantiasa diganggu dan disiksa kaum musyrikin.
Para ahli sejarah menceritakan, pernah sutu waktu ketika Rasulullah SAW sedang menunaikan shalat di Masjid Al-Haram, beliau tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta. Tiba-tiba datanglah sejumlah pembesar Quraisy menghampirinya dan melempari kepala dan punggung beliau dengan kotoran binatang. Beliau diam dan tetap meneruskan sujudnya.
Saiyidatina Fatimah kecil menyaksikan sendiri perbuatan amoral yang menimpa ayahandanya itu di hadapan kedua matanya yang bening. Lalu, dia segera mendekatinya dan membersihkan kotoran binatang tersebut dari kepala dan punggung ayahandanya dengan kedua tangannya yang lembut. Kedua matanya berderai air mata.
Sesekali terdengar isak tangis dari rongga dadanya yang dalam, keluar tidak tertahan lagi. Rasulullah SAW segera menatap muka Saiyidatina Fatimah yang sedih, kemudian memeluknya sambil bersabda, "Putriku, janganlah engkau bersedih. Hal ini tidak akan berlangsung lama," sambil menghiburnya.
Betapa besar perjuangan dan pembelaan Saiyidatina Fatimah terhadap ayahandanya, sehingga posisi Saiyidatina Fatimah seakan-akan tidak lagi sebagai putri Rasulullah. Tetapi sebaliknya, Saiyidatina Fatimah yang begitu dewasa dan matang pribadinya dan selalu berada di samping ayahandanya, seakan-akan menjadi ibu bagi ayahandanya sendiri. "Saiyidatina Fatimah Ummu Abihaa," demikianlah Rasulullah SAW menggelarinya.
Sebagai seorang putri Rasulullah SAW, Saiyidatina Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan, Salman Al-Farisi kelaparan, lalu dia berkeliling ke rumah isteri-isteri Nabi yang sembilan, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika hendak kembali, dia melihat rumah Saiyidatina Fatimah. Kepada dirinya, dia bergumam, "Mudah-mudahan ada rezeki di rumah Saiyidatina Fatimah putri Nabi Muhammad SAW."
Kemudian dia mengetuk pintu rumah Saiyidatina Fatimah. Dari balik pintu terdengar suara, "Siapa di balik pintu ?" "Aku, Salman Al-Farisi," sahut Salman. "Wahai Salman, apa yang Anda inginkan ?" tanya Saiyidatina Fatimah. Lalu Salman menceritakan maksudnya.
Setelah itu, Saiyidatina Fatimah berkata, "Wahai Salman, Demi Yang mengutus Muhammad SAW dengan kebenaran sebagai nabi. Sungguh. Aku sudah tidak makan selama tiga hari. Demikian pula, Al-Hasan dan Al-Husain, gemetar sekujur tubuhnya karena lapar yang sangat. Lalu keduanya tertidur bagaikan dua ekor anak burung yang tidak berbulu. Tapi aku tidak menolak kebaikan, jika datang di pintuku," jelas Saiyidatina Fatimah.
Kemudian Saiyidatina Fatimah melanjutkan perkataannya, "Wahai Salman. Ambillah baju perang ini, lalu pergilah kepada Syam’un Yahudi dan katakan kepadanya bahawa Saiyidatina Fatimah putri Muhammad berkata kepadamu, "Berilah aku seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini. Nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu."
Lalu Salman mengambil baju besi itu dan membawanya kepada Syam’un Yahudi. "Wahai Syam’un, ini adalah baju besi Saiyidatina Fatimah putri Muhammad SAW., dia berkata kepadamu, ‘Berilah aku utang seikat kurma dan gandum, nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu."
Kemudian Syam’un mengambil baju besi tersebut, dan membolak-balikannya dengan telapak tangannya, sementara kedua matanya berderai air mata sambil berkata, "Wahai Salman, inilah kezuhudan dalam dunia. Inilah yang diberitakan oleh Musa bin Imran kepada kami di dalam Taurat. Kini aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya." Si Yahudi tersebut akhirnya masuk Islam.
Selain hidupnya yang amat sederhana dan kepedulian sosialnya yang sangat tinggi, Siti Saiyidatina Fatimah -‘alaiha salam – juga dikenal sebagai seorang ‘abidah (ahli ibadah).
Al-Hasan bin ‘Ali – salam atas mereka berdua – berkata, "Aku melihat ibuku, Saiyidatina Fatimah, berdiri di mihrab-nya pada malam Jum’at. Beliau senantiasa ruku’ dan sujud hingga cahaya fajar menyingsing. Aku mendengar dia mendoakan orang-orang Mukmin dan Mukminat, bahkan menyebutkan nama-nama mereka satu demi satu. Dia banyak mendoakan mereka, tetapi tidak mendoakan dirinya."
Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Ibu, mengapa engkau tidak mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana Ibu mendoakan yang lainnya ?’ Beliau menjawab, ‘Wahai anakku. Tetangga lebih dahulukan, baru rumah sendiri.’"
Saiyidatina Fatimah juga adalah seorang Muslimah yang sangat afifah. Pernah suatu waktu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang terbaik bagi wanita ?" "Iaitu wanita yang tidak melihat lelaki dan tidak dilihat lelaki," jawabnya dengan yakin. Lalu Nabi memeluknya sambil membacakan ayat berikut, "Satu keturunan yang sebagiannya dari yang lain." (QS Ali Imran, 3 : 34).
Saiyidatina Fatimah as yang sejak usia dini sudah menderita, maka penderitaan baginya menjadi suatu yang biasa. Penderitaan, tekanan, dan kehidupan yang demikian pas-pasan telah menghiasi kehidupan Saiyidatina Fatimah. Ironisnya, penderitaan dan kepedihan tersebut makin menguat sepeninggal ayahandanya tercinta.
Jika Saiyidatina Fatimah ketika kecil dan dewasa menyaksikan dengan sedih gangguan dan rongrongan kaum Musyrikin terhadap ayahandanya hingga akhir hayatnya, Saiyidatina Fatimah menyaksikan pengkhianatan dan eksploitasi umat ayahandanya terhadap suaminya, ‘Ali, dan dirinya sendiri.
Sudah tentu, yang terakhir lebih melukai dan menyakitkan hatinya. Semaklah kisah berikut, ketika Saiyidatina Fatimah as bersimpuh di pusara ayahandanya, untuk melaporkan padanya tentang keadaan yang telah berubah secara drastis sepeninggal ayahnya. Dengan suara parau dan mengharukan, dia berkata, "Wahai ayahku, sepeninggalmu sungguh betapa banyak berita duka dan tekanan terhadapku. Sekiranya engkau masih berada di tengah-tengah kami, maka keserakahan-keserakahan itu tidak akan banyak."
Walaupun Saiyidatina Fatimah masih berduka dengan kematian ayahandanya tercinta, dia tetap tampil tegar ketika melihat adanya penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam.
Sejarah telah merekamkan untuk kita, setelah sepeninggal ayahandanya, lalu kaum Muslimin mengangkat Abubakar sebagai khalifah, maka Siti Saiyidatina Fatimah menjelaskan tentang tauhid, kenabian, dan kepemimpinan serta memperingatkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan sejumlah kaum Muslimin.
Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang menangis tatkala mendengarkan khutbah dan peringatan Saiyidatina Fatimah tersebut.
Akhirnya, Saiyidatina Fatimah berpulang ke haribaan Tuhan, enam bulan setelah kepergian ayahandanya. Saiyidatina Fatimah pergi dengan hati yang duka dan terluka. Saiyidatina Fatimah diciptakan seakan-akan hanya untuk mendampingi ayahandanya. Sejak dia berusia lima tahun, dia sudah menjadi seorang ibu bagi ayahandanya. Kemudian setelah sang ayah pergi, diapun segera pergi menyusulnya.
Besar nian jasamu, wahai Saiyidatina Fatimah, dalam membela ayahmu.
Sungguh panjang dan dalam deritamu, sejak ayahmu menjadi bulan-bulanan kaum Musyrikin.
Betapa sakit hati dan pedih hatimu di kala engkau menyaksikan pengkhianatan dan penyimpangan sebagian umat ayahmu. Salam sejahtera atasmu, wahai Saiyidatina Fatimah, di hari lahirmu, di hari penderitaanmu dan di hari wafatmu.
|
|
| |
|
|
|
|
|
Tazkirah
|
|
|
|
Komen
oleh KakYong ([email protected]) pada Selasa, 12 Ogos 2003 @ 18:26:21
(Info AHLI) http://kakyong79.cjb.net
hebatnya kisah hidup wanita pertama penghuni syurga ini....kita bagaimana?....Ampunkan Aku Ya Allah